Pembubaran dan Pelantikan Kepengurusan LPMK

Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari Jl.Setia Budi No.93 Surakarta

Kegiatan FKPM Kelurahan Gilingan

Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari Jl.Setia Budi No.93 Surakarta

Forum KOMPPAG Kelurahan Gilingan Dalam Bidang Pendidikan Anak

Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari Jl.Setia Budi No.93 Surakarta

Kegiatan Warga Kelurahan Gilingan Dalam Keperdulian Tentang AIDS

Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari Jl.Setia Budi No.93 Surakarta

Kegiatan Rumah Hebat Indonesia Dalam Bidang Seni Tari

Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari Jl.Setia Budi No.93 Surakarta

Jumat, 03 Juli 2015

Kegiatan Kelurahan Gilingan Dalam Kesehatan Keluarga Berencana

PPKBD dan Sub PPKBD wadah kegiatan warga masyarakat dalam memberikan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, program keluarga berencana khususnya pada penggunaan alat-alat kontrasepsi, memotivasi peran aktif masyarakat untuk mengikuti program KB dengan mengatur jarak kelahiran, merencanakan persalinan, pendataan Pasangan Usia Subur (PUS) dan Wanita Usia Subur (WUS) pendataan keluarga (KS) yang dilaksanakan dlm kurun waktu setahun sekali, pendataan Pola Hdup Bersih Sehat (PHBS) Pokja IV PKK. persalinan, pendataan Pasangan Usia Subur (PUS) dan Wanita Usia Subur (WUS) pendataan keluarga (KS) yang dilaksanakan dalam kurun waktu setahun sekali, pendataan Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS) Pokja IV PKK. Kelompok swadaya masyarakat dibidang kependudukan dari kalangan bapak-bapak yang sangat menonjol aktifitasnya di kelurahan Gilingan adalah Paguyuban Pria Utama “Jalu Sejati”. (Uraian mengenai Paguyuban Pria Utama “Jalu Sejati”. disajikan pada Bab III Bagian 2 Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan.) Setiap lembaga kemasyarakatan tersebut aktif melaksanakan kegiatan rutin organisasinya sesuai jadwal yang telah ditentukan dengan didukung tertib administrasi dan partisipasi seluruh pengurus dengan mengedepankan kepentingan bersama. Disamping secara manual, pengelolaan administrasi, dokumen dan media grafis, diproses dengan IT dan disimpan dalam data base soft copy.

Kegiatan Pokdarwis

Kelompok Sada Wisata merupakan wadah bagi warga masyarakat yang peduli terhadap pelestarian seni dan budaya leluhur. Kelompok muda-mudi yang menonjol terhadap pelestarian seni dan budaya di Gilingan antara lain KAMI GEMILANG, KUTHORENGGO dan Paguyuban Anak-anak Seni Reyog Ponorogo “SINGO MUSTIKO JUYO”

Pembubaran dan Pelantikan dan Pembubaran Anggota LPMK

Kegiatan Ini adalah salah satu rangkaian pembentukan lembaga aktif di kelurahan gilingan, kegiatan ini berlangsung pada tanggal 5 Mei 2015, dalam kegiatan ini terdapat beberapa acara yang diikuti oleh calon - calon anggota LPMK antara lain pembukaan dengan menyanyikan lagu indonesia raya, dan lagu mengheningkan cipta yang dipimpin langsung oleh bapak lurah Joko Partono, ST, kemudian pembubaran anggota LPMK yang lama, setelah itu pembetukan anggota LPMK yang baru, kegiatan ini diikuti oleh seluruh wakil atau ketua Rw yang ada dikelurahan Gilingan Surakarta.

Warga Perduli Aids

Warga Peduli AIDS dengan kegiatan pemeriksaan terhadap perempuan antara lain: IFA, VCT, IMS (infeksi menular seksual) dan penyuluhan terhadap seluruh warga. Pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan juga didukung penuh dengan adanya kepengurusan Kelurahan Siaga Kelurahan Gilingan. Dimana Kelurahan Siaga ini merupakan gambaran masyarakat yang sadar, mau dan mampu untuk mencegah dan mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat seperti kurang gizi, penyakit menular dan penyakit yang berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB), kejadian bencana, kecelakaan, dan lain-lain, dengan memanfaatkan potensi setempat, secara gotong royong. Pengembangan Kelurahan Siaga Kelurahan Gilingan dilaksanakan bersama dengan masyarakat melalui perangkat kelurahan, kader PKK bersama dengan masyarakat melakukan pengamatan berbasis masyarakat terhadap masalah kesehatan masyarakat. Pengembangan Gerakana Sayang Ibu (GSI) merupakan upaya pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan kepedulian suami & Keluarga untuk mejaga keselamatan ibu hamil sampai dengan ibu melahirkan.

Pos Pelayanan Terpadu

Pos Pelayanan Terpadu (PPT) berfungsi melayani pengaduan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) baik kekerasan terhadap anak maupun kekerasan berbasis perempuan. Pos Pelayanan Terpadu (PPT) berkedudukan di kantor Kelurahan Gilingan.

Selasa, 09 Juni 2015

Festifal Tirtonadi

Taman Tirtonadi, yang awalnya dinamakan Taman Partinah (diambil dari nama salah satu putri    Mangkunegoro VII) atau pelataran sungai Kalianyar, menjadi lokasi berlangsungnya festival air    Tirtonadi. Dipilihnya tempat tersebut, karena para seniman Kota Solo ingin menghidupkan kembali Roh Taman Budaya Surakarta yang pada beberapa dekade silam bertempat di Taman Tirtonadi  tersebut. Taman yang dulu ramai menjadi tempat para seniman dan budayawan mengapresiasikan cipta, rasa, dan karsanya, kini sepi dari festival budaya. Keramaian jarang sekali hadir di Taman tersebut. Diharapkan festival ini menjadi pionir hidupnya kembali acara seni dan budaya di Taman Tirtonadi yang letaknya strategis tersebut.
Festival Tirtonadi yang digelar di seberang Terminal Tirtonadi, Solo, Jawa Tengah. Itu adalah kali pertamanya Festival Tirtonadi digelar. Event ini digelar sebagai media sosialisasi pelestarian lingkungan sungai dan bantaran sekaligus apresiasi seni dan budaya. Festival Tirtonadi didukung seratusan orang yang terdiri puluhan seniman kelompok tari studio Taksu, paduan suara Voca Erudhita, ketoprak Ngampung, dan warga sekitar Solo maupun Wisatawan yang juga rela tampil basah kuyup karena kehujanan.
Panggung dirancang terbuka dengan dekorasi sederhana namun menarik. Kain-kain dibentangkan pada tiang bambu sehingga menyerupai layar dari sebuah perahu. Di delta Sungai Kalianyar, tiang layar serupa juga dibentangkan. Setting cerita yang direncanakan digelar di tengah Sungai Kalianyar terpaksa dibatalkan karena meluapnya sungai akibat hujan deras yang mengguyur Kota Solo beberapa waktu sebelum acara diselenggarakan.
Pergelaran sendratari “Jarik” merupakan acara inti Festival Tirtonadi. Dengan mengandalkan 170 pemain, “Jarik” bercerita tentang arti pentingnya cinta. Baik cinta kepada sesama, maupun cinta dalam arti luas terhadap lingkungan dan alam yang menghidupi manusia. Ada Cinta yang tulus saling berbagi, ada juga cinta penuh siasat. Tari, ketoprak, dan seni suara dipadukan dalam koreografi yang indah dalam sendratari ” Jarik “. Semangat para kru, penari, pemain ketoprak dan grup vokal dalam mendukung terwujudnya acara ini patut diacungi jempol, mereka rela berbasah kuyup demi terselenggaranya festival seni dan budaya Tirtonadi yang perdana, tidak peduli kedinginan ataupun khawatir akan jatuh sakit. Semoga acara seni budaya ini dapat langgeng terselenggara tiap tahunnya di kota Budaya Solo: “The Spirit of Java”

Budaya Kirab Budaya Warga Bibis Mbah Meyek

Mbah Meyek, Asal-usul Kampung Bibis BANYAK nama kampung, desa, kota yang memiliki riwayat khusus, namun yang asal-usulnya diperingati masyarakat sudah tidak banyak lagi. Bahkan, tidak jarang cerita asal-usul itu tidak lagi dikenal, terutama oleh generasi muda. Salah satu yang sampai sekarang masih terus lestari memperingati riwayat kampung di Solo adalah warga Kampung Bibis. Setiap bulan Sura bertepatan dengan hari Selasa Kliwon, masyarakat Bibis mengadakan selamatan, dan menggelar wayang pada malam Jumat Pon. Menurut cerita, Kampung Bibis erat kaitannya dengan riwayat salah seorang putri Raja Pajang Sultan Hadiwijaya dari garwa selir Dewi Setya Arum Sari Hastutiningsih, yaitu Dyah Sri Widyawati Ningrum. Menurut Padi, salah seorang tetua kampung, suatu saat Dyah Sri Widyawati diusir dari keraton oleh Sultan Hadiwijaya, karena dituduh berbuat serong dengan abdi dalem. Ternyata, tidak hanya dia saja yang pergi dari keraton, Ibunya juga ikut menyertai kepergian anak perempuannya itu. Karena murka, Sultan Pajang meminta prajurit kerajaan untuk membuntuti kepergian dua puteri keraton itu dan harus dibunuh. Pelarian puteri Dyah Widyawati dan ibunya ke timur kota Pajang sampai ke pinggir Kali Pepe. Keduanya lalu menaiki gethek (perahu dari bambu) untuk menyeberangi sungai tersebut. Maksudnya untuk melanjutkan pelarian ke utara. Namun, para prajurit berhasil menyusul, meski ketika itu gethek sudah sampai ke tengah sungai. Para prajurit kemudian melepaskan panah tombak, dan mengenai dada Dewi Setya Arum. Bersamaan dengan kejadian itu, tiba-tiba terjadi hujan deras dan petir yang menyambar-nyambar. Gethek yang dinaiki terkena petir sehingga hancur. Anehnya, tempat itu mendadak menjadi gelap gulita, sehingga para prajurit memilih pulang ke keraton. Apalagi saat itu mereka merasa kedua puteri itu dipastikan sudah tewas terkena tombak. Tewaskah kedua puteri itu? Ternyata menurut cerita yang diyakini, Dewi Setya Arum hilang bersama raganya (musna sak ragane), sedangkan Dyah Widyawati terlempar ke daratan bersama dengan gethek yang hancur itu. ”Gethek yang rusak itu sampai meyek-meyek, sedangkan puteri Dyah Widyawati akhirnya pilih menetap di sebuah tempat, yang kemudian disebut Kampung Meyek. Di situ juga terdapat sebuah sumur kecil yang biasa disebut belik, yang juga disebut belik Meyek. Nama Meyek diambil dari kondisi gethek yang hancur dan kondisinya meyek-meyek. Maka , sang puteri pun disebut Mbah Meyek,” kata Wadiyono. Lain riwayat mengatakan, langkah Dyah Widyawati yang meyek-meyek karena kelelahan setelah berlari-lari dikejar prajurit, serta kelelahan karena terlempar dari sungai itu, yang kemudian memunculkan julukan Mbah Meyek. Dia kemudian menjadi pertapa bernama Dhundha Badhundha. Kampung Bibis Kenapa kemudian disebut Kampung Bibis? Ternyata ada riwayat lanjutannya. Saat itu ada seorang kiai yang nenepi (tirakat) di Kampung Meyek itu. Kiai itu kemudian ditemui pertapa Dhundha Badhunda, dan diberi beberapa pesan. Pertama dia diberi obat untuk anaknya yang sakit, berupa air yang diambilkan dari belik Meyek. Kedua, jika ingin Kampung Meyek menjadi makmur harus diganti namanya menjadi Kampung Bibis. Selanjutnya, setiap tahun sekali, tepatnya pada hari Selasa Kliwon di bulan Sura, harus mengadakan sedekah desa dan wayangan di malam Jumat Pon. Pesan itu hingga sekarang dilaksanakan warga sekitar. Setiap menjelang hari itu di bulan Sura, diadakan bersih desa, masyarakat bekerja bakti bersama membersihkan belik Meyek dan sekitarnya. Juga kemudian digelar wayang semalam suntuk, bahkan sebelum pagelaran dimulai wayang yang akan digunakan ki dalang terlebih dulu dikirab keliling kampung. Sedangkan sebutan Kampung Meyek berganti menjadi Kampung Bibis. Riwayat lain mengatakan, disebut Kampung Bibis karena di situ juga terdapat banyak burung Belibis. Hanya saja karena sekarang sudah berubah menjadi perkampungan, tidak ada lagi burung belibisnya.(Joko Dwi Hastanto-42)